Tinta
sejarah telah mengukir dengan indah perkataan Saad bin Muadz radhiyallahu
anhu kepada Rasulullah shallahu’alaihi wasallam di ambang perang
Badar. Perkataan yang menjadi kekuatan dan keyakinan bagi Rasulullah untuk
melanjutkan peperangan melawan kemusyrikan. Langkah yang sempat terhenti karena
ada keraguan di hati para sahabat. Namun perkataan Saad bin Muadz ini kemudian
bagaikan angin badai yang datang menghapus segala keraguan dan kegundahan,
menjadi perekat bagi keutuhan jamaah dan harapan baru yang kembali bersemi dari
lubuk setiap hati. Harapan yang lahir
dari keimanan dan keyakinan pada kemenangan yang dijanjikan.
Saad bin
Muadz berkata:
“Wahai Rasulullah.. Sungguh kami telah beriman
kepadamu, membenarkanmu, dan kami yakin apa yang engkau datangkan adalah
kebenaran. Oleh karena itu, semua kami berikan seluruh loyalitas dan ke-tsiqah-an kami
kepadamu. Lanjutkanlah perjalanan ini sesuai dengan perintah Allah kepadamu.
Demi Allah, seandainya engkau ajak kami
mengarungi lautan dan engkau benar – benar mengarunginya, pastilah kami akan
mengarunginya, tiada satupun yang luput di antara kami. Kami biasa bersabar di
medan perang, dan tegar menghadapi musuh..
Wahai Rasulullah .. teruslah berjalan dengan
keberkahan Allah !!”
Inilah bentuk ketsiqahan seorang jundi kepada qaidnya,
seorang kader kepada murabbinya. Asy-Syahid Hassan Al-Banna dalam Majmu’ Rasail
mendefinisikan ke-tsiqah-an dan loyalitas adalah ketenangan hati seorang
jundi (prajurit) pada pimpinannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya. Sebuah
ketenangan yang sangat mendalam hingga melahirkan rasa cinta, penghargaan,
penghormatan dan ketaatan.
Allah subhaanahu wata’ala berfirman:
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Selanjutnya
Allah subhaanahu wata’ala
menggambarkan kondisi orang-orang yang ragu pada kemampuan dan keikhlasan
pemimpin muslim:
“Apakah
(ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. An-Nur: 50)
Sungguh,
apabila keragu-raguan menyusup dalam barisan jamaah maka kelemahan dan
perpecahan akan meretakkan bangunan dakwah. Kekuatan tandhim (ikatan
organisasi) sangat bergantung pada sejauh mana ketsiqahan jundi pada
pimpinannya. Kekokohan jamaah berkait erat dengan ketahanan dalam membangun
ketsiqahan antar qiyadah dan kader dakwah. Untuk itu, ketsiqahan yang terbangun
pada setiap jenjang kaderisasi menjadi benteng yang ampuh dalam mewujudkan
strategi dakwah dan aktivitas pengkaderan, serta upaya dalam mewujudkan
target-target dakwah yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.
Maka jamaah
dakwah Islam merupakan jamaah yang sangat tidak mungkin bagi musuh-musuh Islam
untuk merusak ikatan ukhuwwwah yang terjalin antar kader dengan virus-virus adu
domba, ataupun mencoba mencabik-cabik keuntuhannya dengan propaganda.
Seorang
pribadi mukmin yang tsiqah tidak mungkin akan mencurigai saudaranya seiman,
meragui kepribadian dan kejujurannya, keikhlasan dan kemampuannya. Apabila syaithan
telah menancapkan dalam hatinya jarum-jarum keraguan terhadap kemampuan pemimpinnya
itu, maka hati yang dipenuhi cahaya iman akan segera bertaubat, astaghfirullahal
‘adhim.
Allah subhaanahu wata’ala senantiasa mengingatkan pribadi yang beriman
dalam firman-Nya:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik
terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah
suatu berita bohong yang nyata." (QS. An-Nuur: 12)
Tidak diangggap pribadi yang beriman sekiranya belum
mampu mengangkat syariat Islam sebagai aturan yang mendamaikan perselisihan di
antar jamaah, serta belum menerima sepenuhnya segala ketetapan yang telah
ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Segala hal yang diputuskan melalui system syura
oleh orang-orang yang terjamin keimanan dan keikhlasannya. Maka tiada pilihan
selain tunduk dan taat yang terungkap dalam wujud sam’an wa thaa’atan.
Inilah ikatan yang sangat indah dalam perjalanan
tarbiyah dan dakwah. Ketsiqahan dan loyalitas yang lahir dalam jiwa setiap
individu jamaah menjadikan setiap perselisihan akan selalu berakhir indah dalam
bingkai aturan ilahiyah. Wallahul musta’an.